Kamis, 03 Oktober 2013

CERPEN: Someday We'll Meet in Paris

SEMUA BERAWAL DARI MIMPI
Paris, Perancis, 2030.
                20 jam perjalanan Jakarta-Paris cukup membuatku teler. Pemandangan khas Eropa dari bandara Charles de Gaulle sampai Hotel Daniel Paris sama sekali tidak kuperhatikan, aku pusing setengah mati. Kira-kira pukul 20.00 taksi yang kutumpangi sampai di hotel. Sesampainya di kamar hotel, aku langsung tidur. Mungkin kalau bukan k arena telepon dari Reina, aku bisa tidur 2 hari penuh.
                “Haloooh?”
                “HEY, MADEMOISELLE MORA!”
                “Aduuuh! Orang lagi tidur mlah digangguin! Uuuugggh!”
                “Iiih, bangun dong! Cepet siap-siap!”
                “Aku mau tidur lagi…”
                “Kamu tau ngga ini udah jam berapa? Ini udah jam 6 sore!”
                Aku langsung bangkit dari tempat tidur dan membuka tirai krem bermotif bunga Peony. Matahari mulai bersembunyi. Jam tangan yang sudah kusetel dengan waktu Perancis menunjukkan jam 18.05. Berarti aku sudah tidur 23 jam! Pantasan perutku keroncongan.
                “Hehe, iya, ya.. Ternyata udah sore. Aku mandi dulu ya, Rei! Kita ketemuan dimana?”
                “Dasar kebo! Ehm, Jules Verne. Jam 7, ya! Jangan telat!”
                “Iya, iya. Kamu pakai baju warna apa? Ntar takutnya aku ngga ngenalin wajahmu, hehe.”
                “Biasa, jaket kulit warna coklat.”
                “Ok, à bientôt!”
                Restoran Jules Verne adalah sebuah restoran mewah yang berada di tingkat 2 menara Eiffel. Aku sudah 3 kali makan disana. Memang agak ribet sih reservasinya, harus 1 bulan sebelum kesana. Tapi pemandangan kota Paris dari atas menara Eiffel memang tak pernah membosankan. Dulu menara Eiffel dan Jules Verne adalah mimpiku. Tapi sekarang, sejak aku mendapat beasiswa S2 di Perancis dan kini menjadi jurnalis sekaligus penulis yang sukses, aku bisa bolak-balik Indonesia-Eropa seenak hati.
                Sesampainya di bawah menara Eiffel, aku melihat 2 orang laki-laki yang kelihatan sangat familier. Kok kayaknya aku kenal, ya? Tanyaku dalam hati. Aku sempat terdiam selama beberapa detik, mencoba mengingat-ingat. Lelaki yang satu berbadan kurus, jangkung, dan berwajah cassanova, sedangkan yang satunya bermata sipit seperti orang Jepang. Ya Tuhan! Aku ingat!
                “Ken.. Kendra? Tommy?” Tanyaku pada mereka. Mereka menghentikan pembicaraan lalu menatapku dari atas sampai bawah. “Did we know each other?” Tanya yang berwajah Jepang dengan tamapng heran. Apakah aku salah orang? “Did we ever meet before?” Tanya si tampang cassanova. Waduh, aku salah orang. “Eeehm, I’m so sorry. I think, both of you are my old friends,” kataku malu. Aku segera meninggalkan mereka berdua. Terdengar cekikikan mereka dari belakangku, mereka pasti menertawakanku. Betapa malunya diriku…
                Aku segera naik ke tingkat 2. Menara Eiffel di hari Rabu tidak terlalu ramai. Sesampainya di Jules Verne, aku disambut oleh 2 orang pelayan yang ramah. Mereka menawarkanku untuk mencarikan tempat duduk Reina, tapi aku menolak. Tak sulit menemukan Reina karena ia adalah satu-satunya orang yang memakai jaket kulit coklat di ruangan tersebut.
“Hai, Rei!” Sapaku. Reina berdiri dari tempat duduknya kemudian memeluk dan mencium kedua pipiku. “10 tahun ngga ketemu, kamu kurusan, hehe. Apa kabar cita-cita jadi suster?” Tanya Reina. “Gara-gara dikejar deadline terus, nih. Haha, tahun depan aku masuk biara. Lusa mau kunjungan ke biara yang ada disini. Kamu sendiri gimana? Apa kabar si Gala?” Jawabku. Reina menunjukkan cincin emas yang melingkar dengan cantik di jari manis kanannya. Dia sudah menikah. “Ya ampun, sama Gala? Kapan? Kok ngga ngundang aku, sih?” Tanyaku. Reina tersenyum,”Ya, sama Gala. 9 tahun yang lalu. Gimana mau ngundang?! Orang kamu lagi sibuk ngurus tesis di Perancis. Dari kalian berlima, cuma Kendra sama Ivana yang dateng. Kamu kan tau sendiri, Tommy di Jepang dan Talitha di Cina.”
                Makan malam kami diselingi cerita dan canda. Waktu menunjukkan pukul 20.30 dan kami memutuskan untuk kembali ke hotel. “Jangan lupa besok, jam 10 di bawah Eiffel,” teriak Reina dari dalam taksinya. Aku cuma melambaikan tangan. Aku tak langsung pulang. Aku menikmati keindahan Sungai Seine di malam hari. Aku duduk di sebuah bangku kosong, memandangi sungai yang berhiaskan lampu warna-warni. Inilah perbedaan sungai-sungai di Perancis dengan Indonesia, disini sungainya sangat bersih dan dihias sehingga bisa dinikmati. Udara semakin dingin, angin berhembus kencang, aku memutuskan untuk kembali ke hotel.
                Keesokan harinya, aku bangun pukul 7. Setelah aku mandi, pelayan mengantarkan sarapan. Sandwich floss dan susu vanilla. Mendung tapi cerah. Bagus, berarti aku bisa duduk sepuasnya di bawah Eiffel tanpa takut kepanasan, kataku dalam hati. Sekitar pukul 9 aku berangkat menuju menara Eiffel dengan berjalan kaki. Yaah, kira-kira jaraknya 1 km lah. Aku tak merasa capek karena pemandangan khas Eropa dengan orang-orang yang unik. Perancis terkenal dengan orang-orangnya yang romantis. Uniknya lagi, laki-laki disana, baik yang berprofesi sebagai CEO sampai tukang copet pun berwajah tampan.
                Eiffel masih sepi. Dengan kamera DSLR, aku memotret The Iron Lady* dari berbagai sudut pandang. Tiba-tiba ada seorang anak perempuan kecil berwajah oriental berpipi tembem menghampiriku. Ia menarik-narik jaketku. “Hey, what is your name?” Tanyaku. Bukannya menjawab, ia malah menangis.
Why? Do you lose your mom?” Tangisnya semakin kencang. Waduh. Aku mengelus rambutnya,”Let’s find your mom!”
                Aku harus membelikannya lollipop supaya tangisnya berhenti. Kami mengelilingi kawasan sekitar menara Eiffel dan belum juga ketemu. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 10, berarti aku harus kembali ke bawah menara karena ada janji sedangkan anak kecil ini belum menemukan ibunya. Handphone-ku berbunyi. Pasti Reina. “Bonjour*! Iya, iya ini aku kesana! Tunggu aku! Mereka belum datang? Oke, oke,” Jawabku sambil menggandeng anak kecil yang merepotkan ini.
                “MAMAAA!” Anak kecil yang sedang kugandeng berlari kemudian memeluk seorang wanita berwajah oriental yang… sepertinya kukenal. Kuputar memoriku. Aha! “TALITHA?!!” Wanita yang kusebut Talitha itu tampak heran,”Did we know each other? But anyway, thanks for help my daughter.” Ya ampun, aku salah orang lagi?! “Xie-xie*,” kata anak kecil itu padaku. Aku tersenyum,”Bu xie*. Sorry, I must go now. Bye!” Malu sekali aku sudah 2 kali salah orang, kukira mereka teman SMA-ku. Hah, mungkin karena aku terlalu rindu dengan mereka.
                Aku segera berlari menuju ke tempat perjanjian yang sudah ditentukan. Reina duduk di sebuah bangku sambil memainkan i-Phone-nya. “Rei!” Sapaku lalu duduk di sampingnya. Ia hanya mengangguk. “Kenapa, Rei?” Tanyaku heran melihat Reina yang kelihatan murung. Ia menunjukkan LCD i-Phone-nya.  
From: Kendra
      Sorry ya, Rei. Aku ngga bisa nepatin janji kita… Aku belum bisa ke Perancis. Sekali lagi maaf.. Oh ya, kata Tommy sama Talitha, mereka juga ngga bisa datang. Ivana ngga ada kabar. Sekali lagi maaf, Rei. Sampaikan salam kami buat Mora. Congratulations, your dream come true!
      Reina menangis. Aku juga sedih sekali. Padahal dulu kami punya janji “Someday we’ll meet in Paris”.  Aku memeluk Reina,”Udahlah, Rei. Ngga apa-apa. Nanti suatu saat pasti bisa ketemu disini. Jangan nangis dong, Rei!” Aku yang awalnya menenangkan dan menghibur Reina akhirnya menangis juga. Seakan terngiang di telingaku lagu Broken Vow yang dulu sering dinyanyikan Kendra dan Ivana. Janji kami teringkari. Aku dan Reina duduk dalam diam selama setengah jam.
                “Happy birthday, Mora. Happy birthday, Mora. Happy birthday, happy birthday… Happy birthday, Mora!” Terdengar suara nyanyian Happy Birthday dari belakang kami dan aku baru ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-34. Ternyata Kendra, Tommy, dan Talitha! Hey, di samping Talitha ada anak kecil yang kutolong tadi! Dan Kendra dan Tommy adalah laki-laki yng kutemui di dekat menara kemarin. “Kalian ngerjain aku, ya?! Dasar!!! Ahahaha!” Aku tertawa sekaligus menangis, tentu saja menangis bahagia. “Hahaha, kamu sampai nangis, ya? Wah, Reina ini ternyata pintar akting! Eh, Ivana kok ngga ada kabar, ya? Jangan-jangan dia ngga dating?! Ya udah deh, make a wish dulu, dong!” Kata Tommy. Aku memejamkan mata dan mengucapkan permohonanku,”Semoga kita tambah sukses, kita bisa sama-sama terus, dan… semoga Ivana datang sekarang juga!”. Saat aku membuka mataku, Ivana sudah ada di depanku dan membawa sebuket bunga. “IVANA!” Aku memeluknya. Kemudian kami berenam berpelukan, seperti Teletubies.     
                Kami berfoto bersama dengan latar belakang menara Eiffel. Eiffel, yang dulu jadi ikon kelas kami sekarang ada tepat di belakang kami. Eiffel, yang dulu cuma angan-angan yang hanya bisa kami lukiskan dalam kertas, sekarang sedang berfoto bersama kami. OUR DREAM IS COMING TRUE!

             -momo



Tidak ada komentar:

Posting Komentar