SEMUA BERAWAL DARI
MIMPI
Paris, Perancis, 2030.
20 jam
perjalanan Jakarta-Paris cukup membuatku teler. Pemandangan khas Eropa dari
bandara Charles de Gaulle sampai Hotel Daniel Paris sama sekali tidak kuperhatikan,
aku pusing setengah mati. Kira-kira pukul 20.00 taksi yang kutumpangi sampai di
hotel. Sesampainya di kamar hotel, aku langsung tidur. Mungkin kalau bukan k arena
telepon dari Reina, aku bisa tidur 2 hari penuh.
“Haloooh?”
“HEY, MADEMOISELLE MORA!”
“Aduuuh!
Orang lagi tidur mlah digangguin! Uuuugggh!”
“Iiih, bangun dong! Cepet siap-siap!”
“Aku
mau tidur lagi…”
“Kamu tau ngga ini udah jam berapa? Ini udah
jam 6 sore!”
Aku
langsung bangkit dari tempat tidur dan membuka tirai krem bermotif bunga Peony.
Matahari mulai bersembunyi. Jam tangan yang sudah kusetel dengan waktu Perancis
menunjukkan jam 18.05. Berarti aku sudah tidur 23 jam! Pantasan perutku
keroncongan.
“Hehe,
iya, ya.. Ternyata udah sore. Aku mandi dulu ya, Rei! Kita ketemuan dimana?”
“Dasar kebo! Ehm, Jules Verne. Jam 7, ya!
Jangan telat!”
“Iya,
iya. Kamu pakai baju warna apa? Ntar takutnya aku ngga ngenalin wajahmu, hehe.”
“Biasa, jaket kulit warna coklat.”
“Ok, à
bientôt!”
Restoran
Jules Verne adalah sebuah restoran mewah yang berada di tingkat 2 menara
Eiffel. Aku sudah 3 kali makan disana. Memang agak ribet sih reservasinya,
harus 1 bulan sebelum kesana. Tapi pemandangan kota Paris dari atas menara
Eiffel memang tak pernah membosankan. Dulu menara Eiffel dan Jules Verne adalah
mimpiku. Tapi sekarang, sejak aku mendapat beasiswa S2 di Perancis dan kini
menjadi jurnalis sekaligus penulis yang sukses, aku bisa bolak-balik
Indonesia-Eropa seenak hati.
Sesampainya
di bawah menara Eiffel, aku melihat 2 orang laki-laki yang kelihatan sangat
familier. Kok kayaknya aku kenal, ya? Tanyaku
dalam hati. Aku sempat terdiam selama beberapa detik, mencoba mengingat-ingat.
Lelaki yang satu berbadan kurus, jangkung, dan berwajah cassanova, sedangkan
yang satunya bermata sipit seperti orang Jepang. Ya Tuhan! Aku ingat!
“Ken..
Kendra? Tommy?” Tanyaku pada mereka. Mereka menghentikan pembicaraan lalu
menatapku dari atas sampai bawah. “Did we
know each other?” Tanya yang berwajah Jepang dengan tamapng heran. Apakah
aku salah orang? “Did we ever meet before?”
Tanya si tampang cassanova. Waduh, aku salah orang. “Eeehm, I’m so sorry. I think, both of you are my old friends,” kataku
malu. Aku segera meninggalkan mereka berdua. Terdengar cekikikan mereka dari
belakangku, mereka pasti menertawakanku. Betapa malunya diriku…
Aku
segera naik ke tingkat 2. Menara Eiffel di hari Rabu tidak terlalu ramai.
Sesampainya di Jules Verne, aku disambut oleh 2 orang pelayan yang ramah.
Mereka menawarkanku untuk mencarikan tempat duduk Reina, tapi aku menolak. Tak
sulit menemukan Reina karena ia adalah satu-satunya orang yang memakai jaket
kulit coklat di ruangan tersebut.
“Hai, Rei!” Sapaku. Reina berdiri
dari tempat duduknya kemudian memeluk dan mencium kedua pipiku. “10 tahun ngga
ketemu, kamu kurusan, hehe. Apa kabar cita-cita jadi suster?” Tanya Reina.
“Gara-gara dikejar deadline terus, nih. Haha, tahun depan aku masuk biara. Lusa
mau kunjungan ke biara yang ada disini. Kamu sendiri gimana? Apa kabar si Gala?”
Jawabku. Reina menunjukkan cincin emas yang melingkar dengan cantik di jari
manis kanannya. Dia sudah menikah. “Ya ampun, sama Gala? Kapan? Kok ngga
ngundang aku, sih?” Tanyaku. Reina tersenyum,”Ya, sama Gala. 9 tahun yang lalu.
Gimana mau ngundang?! Orang kamu lagi sibuk ngurus tesis di Perancis. Dari
kalian berlima, cuma Kendra sama Ivana yang dateng. Kamu kan tau sendiri, Tommy
di Jepang dan Talitha di Cina.”
Makan
malam kami diselingi cerita dan canda. Waktu menunjukkan pukul 20.30 dan kami
memutuskan untuk kembali ke hotel. “Jangan lupa besok, jam 10 di bawah Eiffel,”
teriak Reina dari dalam taksinya. Aku cuma melambaikan tangan. Aku tak langsung
pulang. Aku menikmati keindahan Sungai Seine di malam hari. Aku duduk di sebuah
bangku kosong, memandangi sungai yang berhiaskan lampu warna-warni. Inilah
perbedaan sungai-sungai di Perancis dengan Indonesia, disini sungainya sangat
bersih dan dihias sehingga bisa dinikmati. Udara semakin dingin, angin
berhembus kencang, aku memutuskan untuk kembali ke hotel.
Keesokan
harinya, aku bangun pukul 7. Setelah aku mandi, pelayan mengantarkan sarapan. Sandwich floss dan susu vanilla. Mendung
tapi cerah. Bagus, berarti aku bisa duduk
sepuasnya di bawah Eiffel tanpa takut kepanasan, kataku dalam hati. Sekitar
pukul 9 aku berangkat menuju menara Eiffel dengan berjalan kaki. Yaah, kira-kira
jaraknya 1 km lah. Aku tak merasa capek karena pemandangan khas Eropa dengan
orang-orang yang unik. Perancis terkenal dengan orang-orangnya yang romantis.
Uniknya lagi, laki-laki disana, baik yang berprofesi sebagai CEO sampai tukang
copet pun berwajah tampan.
Eiffel
masih sepi. Dengan kamera DSLR, aku memotret The Iron Lady* dari berbagai sudut
pandang. Tiba-tiba ada seorang anak perempuan kecil berwajah oriental berpipi
tembem menghampiriku. Ia menarik-narik jaketku. “Hey, what is your name?”
Tanyaku. Bukannya menjawab, ia malah menangis.
“Why? Do you lose your
mom?” Tangisnya semakin kencang. Waduh. Aku mengelus rambutnya,”Let’s find your mom!”
Aku harus membelikannya lollipop
supaya tangisnya berhenti. Kami mengelilingi kawasan sekitar menara Eiffel dan
belum juga ketemu. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 10, berarti aku harus
kembali ke bawah menara karena ada janji sedangkan anak kecil ini belum
menemukan ibunya. Handphone-ku
berbunyi. Pasti Reina. “Bonjour*!
Iya, iya ini aku kesana! Tunggu aku! Mereka belum datang? Oke, oke,” Jawabku
sambil menggandeng anak kecil yang merepotkan ini.
“MAMAAA!”
Anak kecil yang sedang kugandeng berlari kemudian memeluk seorang wanita
berwajah oriental yang… sepertinya kukenal. Kuputar memoriku. Aha! “TALITHA?!!”
Wanita yang kusebut Talitha itu tampak heran,”Did we know each other? But anyway, thanks for help my daughter.” Ya
ampun, aku salah orang lagi?! “Xie-xie*,”
kata anak kecil itu padaku. Aku tersenyum,”Bu xie*. Sorry, I must go now. Bye!” Malu sekali aku sudah 2 kali
salah orang, kukira mereka teman SMA-ku. Hah, mungkin karena aku terlalu rindu
dengan mereka.
Aku
segera berlari menuju ke tempat perjanjian yang sudah ditentukan. Reina duduk
di sebuah bangku sambil memainkan i-Phone-nya. “Rei!” Sapaku lalu duduk di
sampingnya. Ia hanya mengangguk. “Kenapa, Rei?” Tanyaku heran melihat Reina
yang kelihatan murung. Ia menunjukkan LCD i-Phone-nya.
From: Kendra
Sorry
ya, Rei. Aku ngga bisa nepatin janji kita… Aku belum bisa ke Perancis. Sekali
lagi maaf.. Oh ya, kata Tommy sama Talitha, mereka juga ngga bisa datang. Ivana
ngga ada kabar. Sekali lagi maaf, Rei. Sampaikan salam kami buat Mora.
Congratulations, your dream come true!
Reina menangis. Aku juga sedih sekali. Padahal dulu kami
punya janji “Someday we’ll meet in
Paris”. Aku memeluk Reina,”Udahlah,
Rei. Ngga apa-apa. Nanti suatu saat pasti bisa ketemu disini. Jangan nangis
dong, Rei!” Aku yang awalnya menenangkan dan menghibur Reina akhirnya menangis
juga. Seakan terngiang di telingaku lagu Broken Vow yang dulu sering
dinyanyikan Kendra dan Ivana. Janji kami teringkari. Aku dan Reina duduk dalam
diam selama setengah jam.
“Happy birthday, Mora. Happy birthday, Mora.
Happy birthday, happy birthday… Happy birthday,
Mora!” Terdengar suara nyanyian Happy Birthday dari belakang kami dan aku
baru ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-34. Ternyata
Kendra, Tommy, dan Talitha! Hey, di samping Talitha ada anak kecil yang
kutolong tadi! Dan Kendra dan Tommy adalah laki-laki yng kutemui di dekat
menara kemarin. “Kalian ngerjain aku, ya?! Dasar!!! Ahahaha!” Aku tertawa
sekaligus menangis, tentu saja menangis bahagia. “Hahaha, kamu sampai nangis,
ya? Wah, Reina ini ternyata pintar akting! Eh, Ivana kok ngga ada kabar, ya?
Jangan-jangan dia ngga dating?! Ya udah deh, make a wish dulu, dong!”
Kata Tommy. Aku memejamkan mata dan mengucapkan permohonanku,”Semoga kita
tambah sukses, kita bisa sama-sama terus, dan… semoga Ivana datang sekarang
juga!”. Saat aku membuka mataku, Ivana sudah ada di depanku dan membawa sebuket
bunga. “IVANA!” Aku memeluknya. Kemudian kami berenam berpelukan, seperti
Teletubies.
Kami
berfoto bersama dengan latar belakang menara Eiffel. Eiffel, yang dulu jadi
ikon kelas kami sekarang ada tepat di belakang kami. Eiffel, yang dulu cuma
angan-angan yang hanya bisa kami lukiskan dalam kertas, sekarang sedang berfoto
bersama kami. OUR DREAM IS COMING TRUE!
-momo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar